sumber - Lebih dari 2000-an kader, anggota, dan simpatisan Partai Rakyat Demokratik (PRD) menggelar aksi massa di depan kantor Mahkamah Konstitusi, siang tadi (12/10). Mereka menuntut agar MK segera membatalkan semua perundang-undangan yang pro-neoliberalisme.
PRD memulai aksinya dari pintu monas dekat patung kuda Indosat. Massa PRD ini membentuk barisan hingga 800 meter. Barisan bendera merah putih dan bendera merah bintang gerigi berada di barisan terdepan.
Spanduk bertuliskan sejumlah tuntutan menjulang tinggi di atas barisan massa. Sementara ratusan poster turut menyemarakkan aksi massa ini. Tampak pula sejumlah ogoh-ogoh diusung oleh massa PRD.
Begitu tiba di gedung MK, barisan massa PRD ini pun membentuk formasi huruf U. Koordinator lapangan kemudian memimpin massa aksi untuk menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia raya. Ribuan massa berkaos merah ini pun larut dalam paduan suara lagu-lagu perjuangan.
Ketua umum PRD Agus Jabo Priyono tampil menyampaikan orasi pertama kali. Setelah itu giliran Pjs. Sekjend PRD Dominggus Oktavianus tampil membakar semangat massa. Selanjutnya, dua seniman Jaker, Rizal Abdulhadi dan Tari Adinda, memandu massa menyanyikan beberapa lagu perjuangan.
Usai menyanyikan lagu-lagu perjuangan, mimbar politik pun dilanjutkan dengan orasi-orasi politik. Orasi ketiga disampaikan oleh Rudi Hartono, koordinator deputi kajian dan bacaan KPP-PRD. Kemudian disusul dengan orasi-orasi dari perwakilan rakyat Tanah Merah, petani Jambi, perwakilan PRD dari lampung, perwakilan PRD Jabar dan SRMI Bogor, perwakilan PRD Jogja, perwakilan PRD Jateng, pengurus baru Eksnas LMND, dan pengurus pusat FNPBI.
Selain orasi politik, perwakilan KPP-PRD juga menyerahkan plakat berisi petisi rakyat berisi tuntutan pencabutan semua UU pro-neoliberalisme. Seorang perwakilan MK menyambut dan menerima plakat tersebut.
UU berbau neoliberal
Ketua umum PRD Agus Jabo menjelaskan alasan mengapa PRD mengusung gerakan pasal 33 UUD 1945. “Gerakan pasal 33 UUD 1945 adalah upaya politik untuk mengembalikan kedaulatan rakyat atas ekonomi nasional,” katanya.
Saat ini, kata Agus Jabo, ekonomi nasional sudah tidak lagi berdaulat, melainkan dibuat tunduk kepada modal asing. Lebih parah lagi, penjajahan terhadap ekonomi nasional itu dilegalisir dengan puluhan UU berbau neoliberal.
Agus Jabo menyebut sejumlah UU yang dianggap pro-neoliberal itu, seperti UU nomor 22 tahun 2011 tentang migas, UU nomor 4 tahun 2009 tentang minerba, UU nomor 25 tahun 2007 tentang PMA, dan UU nomor 7 tahun 2004 tentang SDA, UU No.18/2004 tentang Perkebunan, UU No.19/2004 tentang Kehutanan, yang menyebabkan modal asing mengusai kekayaan alam nasional di sektor migas (85-90%), kekayaan batubara (75%), mineral (89%), perkebunan (50%), dan lain-lain.
Padahal, kata Agus Jabo, seluruh UU itu bisa dipastikan bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. “UUD 1945, khususnya pasal 33, sangat menentang model ekonomi kolonial dan kapitalistik,” tegasnya.
Ia pun mendesak agar MK, sebagai lembaga yang punya wewenang menguji materi UU, untuk segera membatalkan seluruh UU pro-neoliberalisme tersebut.
Rakyat Harus Membangun Partainya Sendiri
Sementara itu, Pjs Sekjend PRD Dominggus Oktavianus mengurai perlunya rakyat Indonesia membangun partainya sendiri. Ia menganggap rakyat Indonesia tidak bisa lagi menaruh harapan kepada partai-partai borjuis.
Ia juga menjelaskan bahwa PRD sengaja dibentuk sebagai alat politik rakyat Indonesia. “PRD dibentuk bukan untuk tujuan pemilu. Kalaupun PRD ikut pemilu, maka itu tidak lebih sebagai taktik perjuangan. PRD adalah alat politik bagi rakyat untuk memperjuangkan kepentingannya,” ujarnya.
Dominggus berharap setiap anggota PRD rajin mengorganisir dan menarik partisipasi rakyat luas untuk bergabung dalam perjuangan politik partai.
Di bagian lain, koordinator deputi kajian dan bacaan KPP-PRD, Rudi Hartono, mengungkapkan bagaimana pancasila tidak lagi menjadi dasar dari penyelenggara negara saat ini.
“Dasar kebangsaan kita, yaitu persamaan nasib, sudah tidak ada lagi. Ada 40 orang terkaya Indonesia yang kekayaannya setara dengan kekayaan 15 juta keluarga atau 60 juta jiwa paling miskin di negeri ini. Nasib mereka sudah beda,” ujarnya.
Ia juga menganggap dasar perikemanusiaan dari pancasila sudah dibokongi oleh penyelenggara negara. Dengan menganut neoliberalisme, manusia Indonesia tidak lagi diperantarai oleh nilai-nilai kemanusiaan, melaikan dengan komoditi dan logika mencari untung.
Lebih lanjut, Rudi juga menyebut macetnya dasar musyawarah mufakat. “Tidak sekalipun pemerintah meminta pendapat rakyat saat merumuskan sebuah kebijakan. Padahal, kebijakan itu sangat mempengaruhi kehidupan rakyat,” ujar Rudi.
Dasar pancasila lainnya, yaitu keadilan sosial dan ketuhanan, juga tidak pernah dijalankan secara serius oleh penyelenggara negara. “Kesenjangan sosial sudah sangat melebar di bawah rejim neoliberal. Kebebasan menganut agama juga makin tidak dihormati dan tidak dijaga oleh negara,” tegasnya.
Ia pun menegaskan bahwa PRD berusaha memperbaiki dasar-dasar di atas sesuai dengan harapan para pendiri bangsa. “itu sekaligus prasyarat menuju masyarakat adil dan makmur,” katanya.
No comments:
Post a Comment