MEGALOMANIAK !!!
Oleh:Gus I’ank *
Peradaban yang selalu mengaggungkan fisik
Gedung-gedung tinggi menjulang
Segala dibuat megah dan mewah
Jalan semakin lebar
Tapi kecelakaan seperti pembunuhan masal
Kota penuh hiasan lampu-lampu
Tapi anak-anak kampung menikmati pemadaman lampu
RAKYAT TERUS TERGUSUR !!
PENYAKIT MEGALOMANIAK !!
Mengaggungkan kesempurnaan bentuk…
Apakah peradaban kita akan dan hanya terus penampilan tampak luar saja ??
Peradaban barat yang sangat makmur
Segala sesuatunya berjalan sangat tertib dan teratur
Sehingga orang berlaku seperti robot dijalan
Toh angka bunuh diri tetap jalan
*Presiden Jemaat TaiNgasu
MENUNTUT RUANG UNTUK PUBLIK!
(Kasus Proyek Megalomaniak RITA MALL di Purwokerto)
Oleh: R.B. Alvin Y.Sandy S.I.Kom*
Semacam Pengantar
Sepenggal puisi yang memang mencerminkan
kondisi pembangunan saat ini yang hanya berorientasikan fisik.
Pembangunanmacam yang dilakukan secara tergesa-gesa atas nama investasi
tanpa mempertimbangkan dampak sosiologis, psikologis dan budaya
masyarakat setempat. Saat ini Banyumas sedang dihadapkan pada
proyek-proyek besar pembangunan yang dilakukan oleh korporasi swasta.
Atas nama investasi dan pembangunan bisa saja
pembangunan besar-besaran ini dibenarkan, tapi benarkah bahwa
pembangunan besar-besaran ini adalah yang sebenar-benarnya kita
butuhkan?
Saya mengajak kawan-kawan melihat pembangunan
ini dari sudut pandang publik, yang mulai kehilangan ruang-ruang
publiknya, saat ini sangat sulit menemukan ruang-ruang bermain untuk
anak-anak, yang masih dalam jangkauan anak bermain, dalam satu lingkup
kelurahan saja, sulit ditemukan ruang-ruang bermain yang disediakan oleh
pemerintah daerah di Banyumas sebagai ruang eksplorasi anak-anak daerah
untuk mengembangkan bakat dan intelegensianya.
Ruang Publik Kita?
Sebut saja taman kota di bekas terminal lama,
dapatkah dikatakan sebagai ruang publik yang terbuka?, tidak!, ruang
publik menurut definisi saya (merujuk Habermas), adalah ruang terbuka
yang mampu diakses oleh berbagai strata dan golongan masayrakat. Maka
salah jika taman kota (di bekas terminal lama) disebut sebagai ruang
publik, melainkan ruang konsumtif bagi masyarakat yang mampu dan
memiliki uang lebih untuk sekedar berefresing. Bagi yang tidak memiliki
uang lebih tentu enggan untuk datang ke sana, mulai dari parkir (tembok
keliling yang jelas tidak terbuka), lalu kios-kios makanan dan
wahana-wahana berbayar yang tentu cukup mahal bagi masyarakat menengah
kebawah, belum lagi akses yang jauh bagi anak-anak itu sendiri, ini
bukan seperti taman bermain yang dapat dibayangkan, ini jelaslah wahana
konsumtif. Sedikit miris, ketika pihak pemkab justru melihat potensi
bisnis dengan minimnya taman kota (bermain) saat ini; Beginikah
kharaktersitik pemerintah kabupaten Banyumas sekarang ini?, standar
penikmat taman kota sudah difilter berdasarkan ekonomi.
Jangankan mengacu pada standar SNI
03-1733-2004, tentang cara perencanaan lingkungan di perkotaan - tentang
ruang bermain minimum bagi anak-anak yang harus difasilitasi minim di
tingkat RT, pemerintah daerah justru sibuk membangun taman-taman kota
sebagai proyek besar, yang efeknya justru kurang terasa bagi masyarakat
pada umumnya, hal inilah yang kita sebut sebagai sifat MEGALOMANIAK,
yang diterapkan oleh rezim-rezim diktator pada masa perang dunia ke-2 di
era Hittler, Mussolini, atau bahkan Soeharto yang pembangunan fisik
terlihat “wow” dan ternyata berpondasikan keropos.
Mempertahankan Identitas.
Saya masyarakat Banyumas tidak berharap
banyak, saya melihat bahwa alun-alun sebagai satu-satunya simbol budaya
kota-kota administratif di Jawa, selain sebagai simbol ruang publik,
yang memang dulu digunakan oleh publik untuk melakukan komunikasi dengan
para pemimpinnya, alun-alun juga simbol kewibawaan pemerintah, dengan
berbagai kearifan lokal, dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya,
sebut saja salah satunya pendirian pendopo Si Panji yang menggunakan
perhitungan geografis merupakan garis lurus dari puncak gunung selamet
hingga lurus keselatan laut selatan, hal ini bukan soal kuno dan mistis, soal kebanggaan dan identitas kebudayaan, siapa dan dari mana kita berasal.
Seperti latah pemerintahan saat ini merujuk
modernitas ala bangsa barat yang memiliki sejarah kolonialis, tentu
berbeda dengan bangsa kita (dikolonilisasi/ bangsa terjajah/ bangsa
pribumi), sejarah mereka mengarahkan pada ekspansi (sebut saja Amerika
dan Australia), proses pembangunan peradaban mereka tidak memiliki
budaya asal, mereka menghancurkan budaya ditempat mereka mendirikan
koloni, bangsa Amerika menghancurkan budaya suku Indian, bangsa
Australia menghancurkan budaya suku Aborigin, bangsa-bangsa itu seperti
kehilangan identitas, dengan belajar-belajar budaya bahkan dari bangsa
kita, belajar arsitektur dari Eropa, belajar moral (China dan Jepang),
lantas pertanyaanya haruskan Bangsa Indonesia ini menghancurkan
Identitasnya sendiri ?, bangsa ini memang bangsa terjajah, namun
semestinya kita harus sadar bahwa untuk menghilangkan
kharakter-kharakter dan budaya kolonialis pasca sepeninggalan mereka,
saya mengajak kawan-kawan sekalian untuk berpikir.
Bangsa Eropa dan bangsa Asia Timur (Inggris,
Scotlandia, Jepang, China, dan Korea contoh kecilnya), memiliki
kesadaran tinggi akan nilai etika, estetika dan logika dalam setiap
aspek pembangunannya, bukan malah atas nama modernitas mereka
merendahkan serta mencap kuno dan mistis tentang budaya lokal, justru
mereka malah tetap mempertahankan gedung-gedung tuanya, mempertahankan
kota-kota tuanya, serta tata kotanya yang memiliki perhitungan evolutif
dari jauh berabad-abad yang lampau yang meiliki nilai kearifan lokalnya
sendiri, logika boleh kuat, namun harus tetap berestetika dan beretika.
Komunikasi Simbolis
Pada titik ini saya mengkritik pembangunan
RITA MALL yang berdiri di dekat dan atau didepan alun-alun kota
Purwokerto, alun-alun dengan nilai kearifan lokal dan identitas
kebudayaan yang sudah ada, nilai dan kearifan lokal yang merupakan hasil
olah evolutif peradaban asli Banyumas (Jawa), sekali lagi ini bukan
soal kuno dan mistis, tapi ini soal identitas asal, jangan sampai bangsa
ini (kota ini) kehilangan identitas budayanya, bukan tanpa alasan
adanya perda tentang tinggi bangunan di sekitar Pendopo Si Panji (perda
nomor 6 tahun 2002 point c) bahwa “ketinggian bangunan di lokasi sekitar
pendopo Si Panji maksimum 3 lantai dengan ketinggian 12 meter dari
permukaan jalan”, tentu memiliki perhitungan estetika sendiri.
Semiotika merupakan cara menginterpretasikan
suatu bentuk, gerak, warna yang muncul dalam komunikasi non verbal
secara kasat mata, kita bisa menginterpretasikan bahwa tinggi memiliki
definisi makna kewibawaan, dengan seting Gunung Selamet dibelakangnya
pendopo si Panji memiliki wibawa serta kesan estetika yang klasik dan
indah. Bagaimana bila kemudian tepat di depannya bediri gedung modern
dan megah, tentu ini merupakan kontras yang kurang nilai estetika dan
wibawanya, lagi-lagi soal ketinggian bukan soal kuno dan mistis, tapi
ini soal estetika dan kesan wibawa pemerintah daerah yang muncul,
sekaligus juga soal identitas asal serta kesan klasik yang muncul,
berdirinya gedung modern tentu memiliki pengaruh sosiologis dan
psikologis pada publik.
Logika awam saja, tentu tidak masuk akal jika
pusat administrasi dipersatukan dengan pusat ekonomi, kita bisa
membayangkan jika istana negara bergabung dengan kompleks mall, peta
lokasi pembangunan ini akan lebih arif ditata berdasarkan
fungsi-fungsinya, apalagi sangat aneh munculnya perbub nomor 85 tahun
2010 yang berkesan sangat dibuat, buat, lahirnya peraturan bupati
tentang lokasi batas pendopo si panji, orang awampun bisa menilai ini
sangat dipaksakan, lokasi yang jelas-jelas berhadapan, dianggap bukan
berada dilokasi pendapa si panji.
Perspektif Ekonomi dan Etika Bisnis
Secara ekonomis, memang benar bahwa ini mampu
menyerap banyak tenaga kerja, namun juga harus diperhitungkan berapa
banyak pasar traditional, dan toko-toko kelontong yang di sekitar
kehilangkan penghasilannya. belum lagi pasar traditional (pasar manis)
yang jika ditarik garis lurus masih dalam jawak 500 meter dari lokasi
RITA Mall, kalaupun menurut perhitungannya tetap positif, mengapa di
investasi ini tidak dilakukan ditempat yang lebih tepat?, misal untuk
pemerataan ekonomi bisa pula dibangun di daerah pinggiran (selain
pertimbangan diatas soal estetika dan ruang publik), kita bisa mencontoh
pembangunan di Jogjakarta, mall dibangun di daerah-daerah pinggiran
(tidak di keraton atau komplek alun-alun yang ramai), atau mencontoh
etika bisnis yang dilakukan Carrefour mereka memiliki “self regulation”
(aturan diri) untuk membangun hypermart mereka di perbatasan kota, toh
bisnis skala besar seperti ini akan membentuk pasarnya sendiri, berbeda
dengan analisis bisnis menengah dan kecil, yang membutuhkan keramaian.
Sedikit curiga pemerintah kita ini menjual
ruang publik kita, menjual identitas kita yaitu alun-alun yang
mendatangkan keramaian (berkumpulnya publik) pada korporasi yang tidak
beretika ini, sama persis ketika pemerintah mengkomodifikasi (menjual)
minimnya ruang bermain (taman kota) dengan membuat taman berbayar,
memang modernitas adalah keniscayaan, namun modernitas juga harus tetap
mempertimbangakan identitas awal kita, memperhatikan ruang publik,
memperhatikan ruang bermain, serta berbasiskan pemerataan ekonomi, pada
dasarnya pembangunan haruslah berpihak pada kebenaran yang
sebenar-benarnya, yang mengedepankan etika, estetika serta logika.
Sedikit Tuntutan
Berdasarkan sedikit penjabaran diatas dapat
disimpulkan, dalam menerapkan berbagai kebijakan pembangunan, sebaiknya
pemerintah daerah, parlemen dan elemen bisnis sendiri untuk
memperhatikan:
1. Ketersediaan ruang publik
2. Ketersediaan ruang bermain anak
3. Memperhatikan identitas budaya
4. Menghargai kearifan lokal dan simbol-simbol didalamnya
5. Serta ber-etika, estetika dan logis dalam berbisnis
6. Pemerataan pembangunan dan perekonomian
7. Kelestarian sumber daya alam
Secara spesifik dan khusus pembangunan proyek
Megalomaniak yang terdekat saat ini yaitu pembanguan RITA MALL, bagi
saya kurang tepat dan tidak tepat, maka dengan ini saya menyatakan sikap
menolak pembangunan RITA MALL di dekat dan atau di depan alun-alun
Purwokerto.
*titipan temen ku, alvin yulityas sandy (aktivis Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi dan Pengamat Kebijakan Komunikasi)
No comments:
Post a Comment